Tahun lalu aku pergi ke beberapa tempat salah satunya yaitu Kawah Ijen. Gagasan ini awalnya muncul setelah salah seorang kenalanku pergi kesana terlebih dahulu. Aku bertanya detail perjalanannya dan aku pun tertarik. Kali ini pergi seorang diri sepertinya bukanlah pilihan yang tepat. FYI, i love going somewhere alone. But not this time i guess :)
Dengan gaya yang persuasif dan sedikit paksaan aku berhasil meyakinkan ketiga orang temanku untuk pergi, Mas Arga, Mey, dan Maskhur. Perjalanan kali ini tanpa persiapan yang begitu matang. Ketika aku bertanya apakah mereka tertarik untuk kesana, untungnya mereka tidak menolak. Cukup mudah untuk mengajak mereka. Yak karena pada dasarnya mereka juga belum pernah kesana sama seperti diriku. Kapan lagi kan kami liburan bareng?
Kali ini kami juga pergi dengan ikut open trip karena lebih murah dan jelas detail perjalanannya. Kami berempat memang belum pernah ikut open trip itu sendiri. Dengan biaya open trip 350K per orang, kami dapat menikmati tiga destinasi utama yaitu kawah ijen, taman nasional baluran, dan pantai bama.
H-2 keberangkatan, pihak open trip menginformasikan mengenai detail perjalanan serta perlengkapan yang harus dibawa, antara lain sarung tangan, senter/penerangan, masker, obat-obatan, pakaian yang tebal karena cuaca sangat dingin di malam hari, kupluk, pakaian ganti, sepatu tracking.
Meeting point yaitu stasiun Gubeng Baru. Sabtu sore itu kami diharuskan berkumpul jam tiga sore, karena jam empat harus segera berangkat. Aku dan teman-temanku berangkat dari kosan sekitar jam setengah tiga. Setibanya di meeting point kami segera bergabung dengan peserta trip lainnya. Sembari menunggu waktu keberangkatan, kami berkeliling stasiun sejenak.
Tiba waktu keberangkatan, kami menuju ke Elf yang akan membawa kami ke tujuan. Kebetulan saat itu kami satu mobil dengan serombongan cece yang sedikit unik. Hampir dua puluh menit terbuang sia-sia karena masalah tempat duduk. Akhirnya aku dan teman-temanku mengalah demi kelancaran perjalanan. Namun tetap saja kejadian tak enak itu merusak mood kami. Sepanjang perjalanan kami habiskan dengan bercanda demi mengembalikan mood baik. Jujur aku tidak bisa berkendara darat cukup jauh karena motion sickness. Aku minum obat beberapa saat setelah perjalanan. Untungnya aku baik-baik saja selama perjalanan hingga tiba ditujuan.
Destinasi pertama kami yaitu Kawah Ijen. Kami sedikit terlambat tiba disana karena beberapa drama sebelum berangkat dan juga sedikit macet di jalan. Seharusnya kami tiba jam satu pagi tetapi kami tiba jam dua. Dan seharusnya tracking di mulai jam setengah dua agar dapat melihat blue fire. Namun kami baru mulai tracking jam setengah tiga pagi.
FYI, Gunung Ijen adalah sebuah gunung berapi aktif yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia. Gunung ini memiliki ketinggian 2.443 mdpl dan terletak berdampingan dengan Gunung Merapi.
Gunung Ijen terakhir meletus pada tahun 1999. Salah satu fenomena alam
yang paling terkenal dari Gunung Ijen adalah kawah yang terletak di
puncaknya. Pendakian gunung ini bisa dimulai dari beberapa tempat.
Pendaki bisa berangkat dari Banyuwangi ataupun dari Bondowoso. (sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Ijen )
Sebelum melakukan pendakian, kami diberi pengarahan terlebih dahulu seperti perlengkapan yang harus digunakan, informasi mengenai guide, detail mengenail jalur yang akan dilewati, bahaya jika tidak mengikuti instruksi, serta waktu untuk turun dari puncak Ijen.
Tujuan utama ke kawah Ijen adalah mengejar blue fire yang tersohor itu. Untuk itu diharuskan mengenakan masker khusus karena kandungan belerang yang cukup berbahaya di kawahnya. Masker tersebut dapat disewa dengan membayar 25K per orang. Meskipun pesimis dapat mengejar blue fire karena waktu yang sudah terlambat, aku dan teman-trmanku tetap menyewa masker gas tersebut.
Lima menit pendakian, masih dipenuhi canda tawa kami dan para peserta lainnya. Jalan yang dilalui cukup licin karena tanahnya kering dan berpasir. Aku beberapa kali terpeleset dan terjatuh. Malu rasanya tapi ku tutupi dengan tawa saja. Cuaca yang saay itu sangat dingin bagiku, mulai terasa hangat karena badan terus bergerak sehingga meningkatkan suhu tubuh. Sepuluh menit kemudian mulai terasa lelah karena jalan mulai menanjak. Untung aku suka jogging, jadi masih bisa mengatur pernapasan dan jatungku sudah terbiasa diajak kerja keras hehehe.
Langkah kaki kami mulai pelan. Aku dan Mey mulai kelelahan. Tetapi Mas Arga dan Maskhur masih terlihat baik-baik saja. Mereka lelaki, pasti lebih kuat daripada kami. Sekitar dua puluh menit perjalanan kami mulai terpecah. Aku mendaki bersama maskhur dan Mey bersama Mas Arga. Secara perlahan aku dan Maskhur mulai meninggalkan Mey dan Mas Arga di belakang. Demi blue fire ucapku dan Maskhur. Akan tetapi tantangan itu nyata di depan mata, jalur pendakian makin curam. Sungguh. Aku merasa mendaki tebing dengan sudut empat puluh lima derajat. Dua langkah saja sudah kelelahan. Maskhur terlihat biasa saja. Dia laki-laki, pasti jauh lebih kuat pikirku. Setiap tiga atau empat langkah mendaki tebing aku minta maskhur untuk berhenti dan istirahat sejenak. Untungnya dia sabar menunggu dan menemaniku selama mendaki tebing terjal itu. Sama halnya yang dialami oleh Mey dan Mas Arga. Lebih parah malah. Selangkah dua langkah langsung membuat Mey kelelahan sehingga mereka berdua tertinggal cukup jauh dari Aku dan Maskhur.
Semakin tinggi kami mendaki, semaki tinggi pula tekanan udaranya. Malam itu angin sangat kencang. Kami mendapat informasi bahwa ada pohon tumbang sehingga menutupi separuh jalan. Kami harus berhati-hati. Tak perlu terburu-buru, yang penting aman pikirku. Selama pendakian aku melihat beberapa anak kecil dan lansia yang turun kebawah. Aku takjub dan salut. Mereka saja bisa, kenapa aku tidak, pikirku. Hal itu sedikit membangkitkan semangatku. Aku dan Maskhur terus mendaki ditemani gemuruh angin yang sangat kencang. Entah sudah berapa lama kami mendaki, hingga akhirnya kami tiba di post terakhir sebelum menuju puncak. Karena memang angin sangat kencang, kami memutuskan istirahat sejenak disana sembari menunggu Mey dan Mas Arga. Cukup lama kami menunggu mereka, karena memang mereka tertinggal cukup jauh di belakang. Aku mendapat info bahwa ada salah satu pendaki yang menyerah sehingga memutuskan untuk kembali turun ke Paltuding (titik awal pendakian).
Akhirnya kami bertemu kembali dengan Mey dan Mas Arga (aku terharu wkwkwk). Setelah dirasa cukup kuat, kami diberi instruksi untuk jalur pendakian selanjutnya karena jalurnya cukup berbahaya. Terdapat jurang disisi kanan jalur dan jika ada penambang belerang yang akan turun, kami diminta memberi mereka jalan terlebih dahulu. Kebayangkan beratnya beban belerang yang harus dibawa para penambang tersebut.
Kami berempat kembali melanjutkan perjalanan, namun tantangan sebenarnya mulai terasa. Angin bertiup begitu kencang hingga rasanya mampu menerbangkan tubuh kami. Hingga setiap angin tersebut menerpa, aku harus berpegangan pada sisi kiri pendakian yaitu bebatuan tebing. Ada kalanya aku berteriak ketakutan ketika tak menemukan pegangan. Hingga aku harus berpegangang pada tasnya Maskhur. Hal yang sama juga dialami Mey dan Mas Arga. Sekitar tiga per empat perjalanan sudah kami lewati dan tak terasa sang surya mulai menampakkan sinarnya. Aku dan Maskhur sudah pasrah dan iklhas tak dapat menikmati blue fire. Yang penting menyelesaikan pendakian ini hingga puncak, gumam kami berdua.
Sinar mentari mulai menerangi dan tampaklah pemdangan sekitar yang ternyata disisi kanan jalur pendakian adalah jurang. Kami sudah diberi tahu sebelumnya tetapi aku baru merasa takut setelah melihatnya langsung. Bagaimana tidak, aku sempat duduk di bebatuan tepi jurang tersebut. Untung saja saat itu masih gelap.
Diiringi angin kencang kami tiba di puncak Gunung Ijen. Meskipun bahagia dan bangga pada diri sendiri tapi kami tetap tak dapat bersantai karena angin memang sangat kencang hingga kami tak mampu berdiri di atas sana. Sejenak kami duduk dan menikmati sinar mentari pagi yang menyinari sekeliling begitu indah.
Sebenarnya ada jasa ojek di sepanjang jalur pendakian tersebut. Ada bapak-bapak yang siap menarik kereta dorong untukmu selama pendakian dan turun. Tarifnya pun bervariasi. Cukup mahal bagiku, tapi setelah aku mendaki dengan kakiku sendiri, aku jadi paham mengapa para ojek tersebut mematok harga tersebut. Biasanya masing-masing kereta akan ditarik oleh dua tau tiga orang. Jadi bagi yang ingin ke Kawah Ijen dan tak ingin capek harus menyiapkan budget lebih.
Meskipun aku dan teman-temanku tak dapat menikmati indahnya blue fire, namun kami sangat bersyukur tiba di puncak dengan selamat. Kami pun tak lupa mengabadikan momen tersebut dalam jepretan lensa kamera. Dengan muka kelelahan dan menahan kantuk kami berpose untuk terlihat bahagia HAHA.
Dan Aku pun tak mau kalah, aku juga ingin mengabadikan momen tersebut. Pengalaman pertamaku mendaki gunung. Pengalaman pertamaku keluar dari zona nyamanku.
Saat itu terlintas dibenakku, aku kapok naik gunung. Aku mengurungkan niatku untuk naik gunung. Sungguh, nyaliku jadi ciut. Lelah sekali rasanya. Ini baru gunung Ijen, yang kata orang kebanyakan belum mendaki yang sesungguhnya karena track pendakian yang sudah bagus dan tidak terlalu tinggi. Mereka bercanda, pikirku. Ini saja sudah hampir membuat jantungku meloncat keluar rasanya. Tapi bagi para pendaki, ini hanya rekreasi kecil saja. Saat itu, hari itu, aku menyerah pada keinginan untuk mendaki gunung.
Aku jadi ingat kejadian lucu, saat mendaki ada beberapa orang yang turun dan memberi semangat kepada kami yang kelelahan.
"Ayo semangat mbak dan mas" sapa mereka sambil tersenyum.
dan ada juga sesama pendaki yang masih saja bercanda disaat itu,
"Ayo sedikit lagi, di depan sana ada Indomaret", ujar mereka.
"Ayo terus, di depan ada jualan mie ayam", canda salah seorang pendaki kepada temannya.
Haha spontan aku tertawa dengan gurauan-gurauan seperti itu.
Setelah puas berfoto dan menikmati pemandangan di atas sana, kami dan para peserta open trip lainnya diberi instruksi untuk segera turun gunung agar dapat istirahat yang cukup sebelum melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya.
Ternyata turun gunung tak kalah lelah daripada mendaki. Semua beban ditubuh bertumpu pada kedua kakimu. Hanya saja bagiku turun gunung tak seberapa lelah dibandingkan dengan pendakian sebelumnya. Aku, Mey, Makshur, dan Mas Arga lebih rileks saat turun gunung. Sesekali tawa canda menghiasi perjalanan kami. Beberapa kali kami berpapasan dengan turis asing, yang membuatku heran dan salut, mereka hanya mengenakan pakaian tipis dan seadanya, padahal angin sangat kencang. Aku saja kedinginan hingga menggigil. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Kali ini aku lebih cepat berjalan saat turun karena ingin sekali rasanya segera tiba di bawah dan beristirahat.
To be continue...
Sebelum melakukan pendakian, kami diberi pengarahan terlebih dahulu seperti perlengkapan yang harus digunakan, informasi mengenai guide, detail mengenail jalur yang akan dilewati, bahaya jika tidak mengikuti instruksi, serta waktu untuk turun dari puncak Ijen.
Tujuan utama ke kawah Ijen adalah mengejar blue fire yang tersohor itu. Untuk itu diharuskan mengenakan masker khusus karena kandungan belerang yang cukup berbahaya di kawahnya. Masker tersebut dapat disewa dengan membayar 25K per orang. Meskipun pesimis dapat mengejar blue fire karena waktu yang sudah terlambat, aku dan teman-trmanku tetap menyewa masker gas tersebut.
Lima menit pendakian, masih dipenuhi canda tawa kami dan para peserta lainnya. Jalan yang dilalui cukup licin karena tanahnya kering dan berpasir. Aku beberapa kali terpeleset dan terjatuh. Malu rasanya tapi ku tutupi dengan tawa saja. Cuaca yang saay itu sangat dingin bagiku, mulai terasa hangat karena badan terus bergerak sehingga meningkatkan suhu tubuh. Sepuluh menit kemudian mulai terasa lelah karena jalan mulai menanjak. Untung aku suka jogging, jadi masih bisa mengatur pernapasan dan jatungku sudah terbiasa diajak kerja keras hehehe.
Langkah kaki kami mulai pelan. Aku dan Mey mulai kelelahan. Tetapi Mas Arga dan Maskhur masih terlihat baik-baik saja. Mereka lelaki, pasti lebih kuat daripada kami. Sekitar dua puluh menit perjalanan kami mulai terpecah. Aku mendaki bersama maskhur dan Mey bersama Mas Arga. Secara perlahan aku dan Maskhur mulai meninggalkan Mey dan Mas Arga di belakang. Demi blue fire ucapku dan Maskhur. Akan tetapi tantangan itu nyata di depan mata, jalur pendakian makin curam. Sungguh. Aku merasa mendaki tebing dengan sudut empat puluh lima derajat. Dua langkah saja sudah kelelahan. Maskhur terlihat biasa saja. Dia laki-laki, pasti jauh lebih kuat pikirku. Setiap tiga atau empat langkah mendaki tebing aku minta maskhur untuk berhenti dan istirahat sejenak. Untungnya dia sabar menunggu dan menemaniku selama mendaki tebing terjal itu. Sama halnya yang dialami oleh Mey dan Mas Arga. Lebih parah malah. Selangkah dua langkah langsung membuat Mey kelelahan sehingga mereka berdua tertinggal cukup jauh dari Aku dan Maskhur.
Semakin tinggi kami mendaki, semaki tinggi pula tekanan udaranya. Malam itu angin sangat kencang. Kami mendapat informasi bahwa ada pohon tumbang sehingga menutupi separuh jalan. Kami harus berhati-hati. Tak perlu terburu-buru, yang penting aman pikirku. Selama pendakian aku melihat beberapa anak kecil dan lansia yang turun kebawah. Aku takjub dan salut. Mereka saja bisa, kenapa aku tidak, pikirku. Hal itu sedikit membangkitkan semangatku. Aku dan Maskhur terus mendaki ditemani gemuruh angin yang sangat kencang. Entah sudah berapa lama kami mendaki, hingga akhirnya kami tiba di post terakhir sebelum menuju puncak. Karena memang angin sangat kencang, kami memutuskan istirahat sejenak disana sembari menunggu Mey dan Mas Arga. Cukup lama kami menunggu mereka, karena memang mereka tertinggal cukup jauh di belakang. Aku mendapat info bahwa ada salah satu pendaki yang menyerah sehingga memutuskan untuk kembali turun ke Paltuding (titik awal pendakian).
Akhirnya kami bertemu kembali dengan Mey dan Mas Arga (aku terharu wkwkwk). Setelah dirasa cukup kuat, kami diberi instruksi untuk jalur pendakian selanjutnya karena jalurnya cukup berbahaya. Terdapat jurang disisi kanan jalur dan jika ada penambang belerang yang akan turun, kami diminta memberi mereka jalan terlebih dahulu. Kebayangkan beratnya beban belerang yang harus dibawa para penambang tersebut.
Kami berempat kembali melanjutkan perjalanan, namun tantangan sebenarnya mulai terasa. Angin bertiup begitu kencang hingga rasanya mampu menerbangkan tubuh kami. Hingga setiap angin tersebut menerpa, aku harus berpegangan pada sisi kiri pendakian yaitu bebatuan tebing. Ada kalanya aku berteriak ketakutan ketika tak menemukan pegangan. Hingga aku harus berpegangang pada tasnya Maskhur. Hal yang sama juga dialami Mey dan Mas Arga. Sekitar tiga per empat perjalanan sudah kami lewati dan tak terasa sang surya mulai menampakkan sinarnya. Aku dan Maskhur sudah pasrah dan iklhas tak dapat menikmati blue fire. Yang penting menyelesaikan pendakian ini hingga puncak, gumam kami berdua.
Sinar mentari mulai menerangi dan tampaklah pemdangan sekitar yang ternyata disisi kanan jalur pendakian adalah jurang. Kami sudah diberi tahu sebelumnya tetapi aku baru merasa takut setelah melihatnya langsung. Bagaimana tidak, aku sempat duduk di bebatuan tepi jurang tersebut. Untung saja saat itu masih gelap.
Jalur Pendakian |
Diiringi angin kencang kami tiba di puncak Gunung Ijen. Meskipun bahagia dan bangga pada diri sendiri tapi kami tetap tak dapat bersantai karena angin memang sangat kencang hingga kami tak mampu berdiri di atas sana. Sejenak kami duduk dan menikmati sinar mentari pagi yang menyinari sekeliling begitu indah.
Kawah Ijen |
Ojek di puncak Gunung Ijen |
Meskipun aku dan teman-temanku tak dapat menikmati indahnya blue fire, namun kami sangat bersyukur tiba di puncak dengan selamat. Kami pun tak lupa mengabadikan momen tersebut dalam jepretan lensa kamera. Dengan muka kelelahan dan menahan kantuk kami berpose untuk terlihat bahagia HAHA.
Saat itu angin bertiup sangat kencang |
Muka dekil dan kedinginan :) |
Aku jadi ingat kejadian lucu, saat mendaki ada beberapa orang yang turun dan memberi semangat kepada kami yang kelelahan.
"Ayo semangat mbak dan mas" sapa mereka sambil tersenyum.
dan ada juga sesama pendaki yang masih saja bercanda disaat itu,
"Ayo sedikit lagi, di depan sana ada Indomaret", ujar mereka.
"Ayo terus, di depan ada jualan mie ayam", canda salah seorang pendaki kepada temannya.
Haha spontan aku tertawa dengan gurauan-gurauan seperti itu.
Setelah puas berfoto dan menikmati pemandangan di atas sana, kami dan para peserta open trip lainnya diberi instruksi untuk segera turun gunung agar dapat istirahat yang cukup sebelum melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya.
Ternyata turun gunung tak kalah lelah daripada mendaki. Semua beban ditubuh bertumpu pada kedua kakimu. Hanya saja bagiku turun gunung tak seberapa lelah dibandingkan dengan pendakian sebelumnya. Aku, Mey, Makshur, dan Mas Arga lebih rileks saat turun gunung. Sesekali tawa canda menghiasi perjalanan kami. Beberapa kali kami berpapasan dengan turis asing, yang membuatku heran dan salut, mereka hanya mengenakan pakaian tipis dan seadanya, padahal angin sangat kencang. Aku saja kedinginan hingga menggigil. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Kali ini aku lebih cepat berjalan saat turun karena ingin sekali rasanya segera tiba di bawah dan beristirahat.
To be continue...
No comments:
Post a Comment